Mungkin itulah alasannya kenapa banyak orang melakukan hal-hal serupa meski kadang-kadang pertolongan itu hanya bisa membantu seseorang dalam satu periode waktu saja. Artinya pertolongan Anda tidak memberdayakan orang yang Anda tolong tersebut untuk bisa mengusahakan sendiri kesejahteraannya.
Ambil saja contoh, ketika Anda memberikan uang seribu rupiah atau mungkin hanya dua ratus rupiah kepada anak-anak yang kerap minta-minta di perempatan dekat pemakaman umum karet bivak, Jakarta selatan.
Setelah itu, tentu saja uang yang Anda berikan akan habis dalam tempo sesingkat-singkatnya karena kebutuhan dan keinginan anak-anak ini juga banyak seperti kita.
Alasan yang sama (ingin bahagia) juga kemungkinan besar kita temukan ketika bencana besar melanda Aceh, Yogya, Nias, Nabire serta tempat lain-lain dan dalam waktu tidak lama begitu banyak sumbangan datang ke daerah-daerah bencana ini.
Meski kerap banyak juga diselipi motif-motif lain yang tidak begitu murni, pada dasarnya membiasakan diri memberikan sedekah, bantuan, berbuat baik kepada siapa saja merupakan bagian hidup kita dan seolah menjadi kebutuhan. Dan tentu saja, hal ini positif, terkait dengan sifat pengasih.
Cinta atau Kasihan
Dalam sebuah wawancara dengan seorang psikiater dari Phoenix, Amerika Serikat, Howard C. Cutler, MD, tokoh spiritual Tibet, Dalai Lama, menuturkan, sifat pengasih secara kasar dapat didefinisikan sebagai sikap mental yang tidak mengandung kekerasan, tidak mengandung bahaya dan tidak agresif.
Sikap mental ini, lanjut Dalai Lama, didasarkan pada keinginan agar orang lain dibebaskan dari penderitaan mereka dan dikaitkan dengan suatu rasa komitmen, tanggung jawab dan hormat kepada orang lain.
Namun, ketika kita bicara mengenai sifat pengasih ini, kerap ada bahaya mencampuradukkan sifat pengasih ini dengan keterikatan. Menurut Dalai Lamai, bila kita bicara tentang sifat pengasih, kita harus bedakan antara dua macam cinta atau rasa kasihan.
Ada sikap kasih yang diwarnai dengan keterikatan atau pamrih entah itu ingin dikenal sebagai orang baik, bingung mencari cara bagaimana menghabiskan uang, atau alasan tanggung jawab moral, merasa sebagai kewajiban, keinginan untuk mengendalikan seseorang atau menyayangi seseorang agar orang itu balas menyayangi kita.
Kasih seperti inilah yang tidak utuh dan melenceng dari makna sejati. “Relasi yang didasarkan pada kasih seperti ini tidak akan stabil dan akan menjurus pada keterikatan emosional. Begitu ada perubahan sedikit, rasa kasih itu akan menguap,” jelas Dalai Lama.
Kasih sejati, itu bebas dari keterikatan. Kasih semacam ini tidak didasarkan pada kenyataan bahwa orang ini atau orang itu baik kepada saya. Kasih seperti ini didasarkan pada pola pikir bahwa semua orang mempunyai hasrat bawaan untuk bahagia dan mengatasi penderitaannya, seperti saya sendiri.
“Jadi, kasih sejati tidak peduli apakah orang lain yang kita tolong itu teman atau musuh,” jelas Dalai Lama. Dalam sebuah perkawinan, misalnya, unsur keterikatan emosional memang ada. Tetapi jika unsur kasih sejati dikembangkan yang didasarkan pada sikap saling hormat sebagai sesama manusia, perkawinan berpeluang untuk langgeng. Sebaliknya bila keterikatan emosional itu tidak diiringi dengan kasih sejati, perkawinan tidak akan menetap dan cenderung mudah berakhir.
Dengan lain kata, untuk bisa berbuat baik, melakukan tindakan kasih, perlu ada upaya. Tidak setiap orang bisa dengan mudah melakukannya. Perlu pembiasaan diri. Itu artinya mencintai pun perlu dibiasakan. “Kita ini manusia yang sedang belajar mencinta,” jelas Dalai Lama. Hanya Tuhanlah yang satu-satunya bisa mengatakan aku mencintaimu. Artinya kita hanya layak mengatakan aku sedang belajar mencintaimu. Sekarang tinggal keputusan kita, mau mengembangkannya atau tidak.
Dampak Positif Berbuat Baik
Agar pengembangan sikap kasih ini memiliki makna lain akan saya beritahukan satu hal penting. Beberapa tahun belakangan ini ada beberapa penelitian yang mendukung gagasan bahwa mengembangkan sikap kasih dan peduli akan kesejahteraan orang lain (doing good-berbuat baik) berdampak positif pada kesehatan, baik fisik maupun emosi si pelakunya.
Salah satu penelitian mengenai altruisme yang cukup lengkap dilakukan oleh Allan Luks dan didokumentasikan dalam sebuah buku yang terbit tahun 1991 berjudul The Healing Power of Doing Good: The Health and Spiritual Benefits of Helping Others.
Luks adalah mantan direktur eksekutif dari The Institute for The Advancement of Health dan juga direktur eksekutif dari Big Brothers/Big Sisters of New York City.
Penelitian yang dilakukan Luks melibatkan setidaknya 3000 sukarelawan dari segala umur di lebih dari 20 organisasi yang tersebar di Amerika Serikat. Luks mengirimkan 17 pertanyaan kepada para sukarelawan ini dan menanyakan apa yang mereka rasakan ketika melakukan perbuatan baik itu.
Sekitar 3296 survei kembali ke Luks. Setelah dianalis dengan komputer, Luks melihat dengan jelas hubungan sebab akibat antara menolong orang lain dan tingkat kesehatan. Singkatnya, Luks menyimpulkan “Menolong orang lain, memberi sumbangan bagi terpeliharanya kesehatan kita dan ini dapat mengurangi efek penyakit dan kekacauan serius maupun ringan, baik secara psikologis maupun fisik.”
Para sukarelawan ini bersaksi bahwa mereka merasakan aliran gairah eforia yang diikuti dengan periode rasa tenang dan bahagia setelah menjalankan aktivitas sosial. Perasaan ini, yang disebut Luks sebagai “helper’s high” melibatkan sensasi-sensasi yang sangat kuat mengindikasikan adanya penurunan tingkat stres dan melepaskan pembunuh rasa sakit alamiah dalam tubuh yang disebut endorphin. Awal munculnya gairah ini kemudian diikuti dengan periode kondisi emosional yang sangat tenang dalam waktu yang cukup lama
Penurunan tingkat stres ini bagi para sukarelawan dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting bagi meningkatnya kesehatan mereka. Faktanya, lebih dari 90 persen sukarelawan ini melaporkan keadaan ini.
Lebih dari itu Luks menyatakan “Pada titik ini kita mesti memahami bahwa berbedanya status pikiran sangat memengaruhi sistem kekebalan tubuh,” Kita tahu sistem imun merupakan senjata tubuh dalam melawan tumbuhnya tumor. Namun, dalam penelitian ini belum ada bukti yang memadai bahwa ada hubungan antara kebiasaan berbuat baik ini dengan kemampuan tubuh dalam mencegah atau bahkan melawan kanker yang tumbuh dalam diri seseorang.
Di sisi lain, ternyata ada juga penelitian-penelitian yang membuka jalan ke arah kemungkinan pencegahan kanker. Kebiasaan berbuat baik, menurut penelitian ini disebutkan mampu mengondisikan seseorang berada dalam emosi yang stabil dan mengurangi stres, dengan demikian memperlambat pertumbuhan kanker.
Penelitinya, Sandra Levy menemukan bahwa kegembiraan yang penuh bagi para wanita penyandang kanker payudara sangat bermanfaat karena memampukan para wanita ini bertahan hidup. Membantu orang lain meningkatkan rasa bahagia dan mengurangi perasaan sendirian yang mengakibatkan seseorang menjadi tidak sehat.
Jadi, mudahkan kalau mau sehat. Silakan berbuat baik pada siapa saja. dan Anda pun akan bahagia... dan juga sehat!
sumber : kompas.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar